Jumat, 29 Oktober 2010

Asuhan Keperawatan Dengan Perilaku Kekerasan

TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana seseorang menunjukkan perilaku yang actual melakukan kekerasan yang ditunjukan pada diri sendiri/oarng lain secara verbal maupun non verbal dan pada lingkungan . marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 1995).

B. ETIOLOGI
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika factor berikut dialami oleh individu:

1. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbu agresif atau amuk. Masa kanak-kanak tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiyaya atau sanksi penganiayaan.
2. Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Social budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan control social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan ada menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan dapat diterima (permissive).
4. Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan system limbic, lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseibangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.

C. TANDA DAN GEJALA
a. Fisik
a. Mata melotot/pandangan tajam
b. Tangan mengepal
c. Rahang mengatup
d. Wajah memerah
e. Postur tubuh kaku
b. Verbal
a. Mengancam
b. Mengunpat dengan kata-kata kotor
c. Suara keras
d. Bicara kasar, ketus
c. Perilaku
a. Menyerang orang
b. Melukai diri sendiri/orang lain
c. Merusak lingkungan
d. Amuk/agresif

D. PATOFISIOLOGI
Factor-faktor dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Interaksi social yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan

E. PATHWAY
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan/amuk

Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah
( Budiana Keliat, 1999)


F. KOMPLIKASI

1. Stroke
2. Gagal ginjal
3. Kebutaan
4. Gagal jantung

Beberapa komplikasi dari hipertensi :

1. Penyakit jantung koroner
2. Gagal jantung
3. Kerusakan pembuluh darah otak dapat berupa pecahnya pembuluh darah (stroke) dan kerusakan dinding pembuluh darah
4. Gagal ginjal
5. Kerusakan pada masa yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan

G. FOKUS PENGKAJIAN
a. Masalah keperawatan:
1). Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2). Perilaku kekerasan / amuk
3). Gangguan harga diri : harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji:
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif :
§ Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
§ Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
§ Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Objektif :
§ Mata merah, wajah agak merah.
§ Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
§ Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
§ Merusak dan melempar barang‑barang.
2. Perilaku kekerasan / amuk
1). Data Subyektif :
§ Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
§ Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
§ Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Obyektif
§ Mata merah, wajah agak merah.
§ Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
§ Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
§ Merusak dan melempar barang‑barang.
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2). Data obyektif:
- Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.
H. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan/amuk.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri rendah.


I. FOKUS INTERVENSI
a. Tujuan Umum: Klien tidak mencederai dengan melakukan manajemen kekerasan
b. Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
2.1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
2.2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal.
2.3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda‑tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
3.1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
3.2. Observasi tanda perilaku kekerasan.
3.3. Simpulkan bersama klien tanda‑tanda jengkel/kesal yang dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
4.1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.3. Tanyakan "Apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai ?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
5.1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
5.2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
5.3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon thd kemarahan.
Tindakan :
6.1. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
6.2. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal/kasur.
6.3. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/tersinggung.
6.4. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
7.1. Bantu memilih cara yang paling tepat.
7.2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
7.3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
7.4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
7.5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel/marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
8.1. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melaluit pertemuan keluarga.
8.2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
9.1. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping).
9.2. Bantu klien mengpnakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
9.3. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.


DAFTAR PUSTAKA


Stuart, G.W., dan Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. (5th ed). St. louis : Mosby Year Book.
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI PENDENGARAN

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Klien dengan Skizofrenia mempunyai gejala utama penurunan persepsi sensori : Halusinasi. Jenis halusinasi yang umum terjadi adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan. Gangguan halusinasi ini umumnya mengarah pada perilaku yang membahayakan orang lain, klien sendiri dan lingkungan.
Terkait dengan hal tersebut di atas penulis merasa perlu untuk melakukan asuhan keperawatan pada Tuan H di ruangan Pusuk Buhit RSJ Medan, karena kasus pada klien jiwa dengan gangguan halusinasi pendengaran cukup banyak terjadi, selain keadaan klien yang cukup mendukung dalam proses perawatan yang cukup mendukung perawat.
Selain masalah halusinasi klien juga mengalami permasalahan kejiwaan, seperti : menarik diri, harga diri rendah kronis dan resiko tinggi perilaku kekerasan. Klien sudah mengalami gangguan jiwa selama lebih kurang 3 bulan yang lalu
.
B. Batasan Masalah
Dalam pembahasan masalah ini pennulis membatasi permasalahan yaitu tentang bagaimana aplikasi asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama perubahan sensori persepsi ; halusinasi pendengaran yang meliputi pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi .
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan proses keperawatan pada klien Tuan H dengan halusinasi pendengaran di ruang Pusuk Buhit RSJ Medan.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian analisa data, merumuskan masalah keperawatan, membuat pohon masalah, menetapkan pohon masalah, menetapkan diagnosa keperawatan pada Tuan H dengan halusinasi pendengaran di ruang Pusuk Buhit RSJ Medan.
b. Dapat menyusun rencana tindakan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien dan mengatasi masalah klien.
c. Dapat mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan yang nyata sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan.
d. Dapat menilai hasil (mengevaluasi) tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
e. Dapat melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan.


©2004 Digitized by USU digital library 1
D. Metode
Metode yang dilakukan dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Studi kasus
Kelompok melakukan asuhan keperawatan secara langsung pada seorang klien dengan masalah perubahan sensori persepsi halusinasi pendengaran di ruang Pusuk Buhit RSJ Medan.
2. Observasi
Mengobservasi gejala – gejala perilaku yang dialami klien dengan halusinasi dengar dan observasi keberhasilan standard asuhan keperawatan yang diberikan.
3. Wawancara
Pengkajian dalam rangka pengumpulan data dilakukan terhadap klien keluarga serta perawat ruangan
4. Studi perpustakaan
Dengan mempelajari beberapa buku yang berhubungan dengan halusinasi termasuk bahan – bahan perkuliahan agar makalah ini mempunyai nilai ilmiah untuk dipertahankan.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari
- Latar belakang
- Batasan masalah
- Tujuan
- Metode
- Sistematika penulisan
2. Bab II : Tujuan Teoritis
- Teoritis Halusinasi
• Defenisi halusinasi dan klasifikasi halusinasi
• Proses terjadinya halusinasi
• Faktor – faktor yang dapat menyebabkan halusinasi
• Hubungan skizofrenia dengan halusinasi
• Penatalaksanaan medis halusinasi pendengaran
- Teoritis keperawatan
Asuhan keperawatan :
• Pengkajian
• Diagnosa keperawatan
• Intervensi
• Implementasi
• Evaluasi
3. Bab III : Tinjauan Kasus
- Pengkajian
- Analisa data
- Pohon masalah
- Diagnosa keperawatan
- Intervensi
- Implementasi
- Evaluasi
4. Bab IV : Pembahasan
5. Bab V : Kesimpulan dan Saran


©2004 Digitized by USU digital library 2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. HALUSINASI
1. DEFENISI HALUSINASI
Halusinasi adalah satu persepsi yang salah oleh panca indera tanpa adanya rangsang (stimulus) eksternal (Cook & Fontain, Essentials of Mental Health Nursing, 1987).
2. KLASIFIKASI HALUSINASI
Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu, diantaranya :
a. Halusinasi pendengaran : karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan : karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu : karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba : karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap : karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
f. Halusinasi sinestetik : karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
3. PROSES TERJADINYA HALUSINASI
Halusinasi pendengaran merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi pada klien dengan gangguan jiwa (schizoprenia). Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara – suara bising atau mendengung. Tetapi paling sering berupa kata – kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti : bicara sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan. Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati.
Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor dari gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik.


©2004 Digitized by USU digital library 3
4. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB HALUSINASI
a. Faktor predisposisi
1. BIOLOGIS
Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan syaraf – syaraf pusat dapat menimbulkan gangguan realita. Gejala yang mungkin timbul adalah : hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan muncul perilaku menarik diri.
2. PSIKOLOGIS
Keluarga pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respons psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah : penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. SOSIOBUDAYA
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti : kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya
4. ( EMPAT) TAHAPAN HALUSINASI, KARAKTERISTIK DAN PERILAKU YANG DITAMPILKAN

TAHAP KARAKTERISTIK PERILAKU KLIEN
Tahap I
- Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan.

- Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
- Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik.

- Tersenyum, tertawa sendiri
- Menggerakkan bibir tanpa suara
- Pergerakkan mata yang cepat
- Respon verbal yang lambat
- Diam dan berkonsentrasi

Tahap II
- Menyalahkan
- Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati

- Pengalaman sensori menakutkan
- Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
- Mulai merasa kehilangan kontrol
- Menarik diri dari orang lain non psikotik

- Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
- Perhatian dengan lingkungan berkurang
- Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
- Kehilangan kemampuan



©2004 Digitized by USU digital library 4

membedakan halusinasi dengan realitas
Tahap III
- Mengontrol
- Tingkat kecemasan berat
- Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi

- Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi)
- Isi halusinasi menjadi atraktif
- Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik

- Perintah halusinasi ditaati
- Sulit berhubungan dengan orang lain
- Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik
- Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat

Tahap IV
- Klien sudah dikuasai oleh halusinasi
- Klien panik
Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik.
- Perilaku panik
- Resiko tinggi mencederai
- Agitasi atau kataton
- Tidak mampu berespon terhadap lingkungan


Hubungan Skhizoprenia dengan halusinasi
Gangguan persepsi yang utama pada skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh kecemasan, halusinasi menghasilkan tingkah laku yang tertentu, gangguan harga diri, kritis diri, atau mengingkari rangsangan terhadap kenyataan.
Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada skizoprenia, suara – suara biasanya berasal dari Tuhan, setan, tiruan atau relatif. Halusinasi ini menghasilkan tindakan/perilaku pada klien seperti yang telah diuraikan tersebut di atas (tingkat halusinasi, karakteristik dan perilaku yang dapat diamati).
6. Penatalaksanaan medis pada halusinasi pendengaran
Penatalaksanaan klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat – obatan dan tindakan lain, yaitu :
a. Psikofarmakologis
Obat – obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien skizoprenia adalah obat – obatan anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan adalah :


©2004 Digitized by USU digital library 5
b. Terapi kejang listrik/Electro Compulsive Therapy (ECT)
c. Terapi aktivitas kelompok (TAK)
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
A. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Faktor perkembangan terlambat
• Usia bayi, tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
• Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi
• Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan
2. Faktor komunikasi dalam keluarga
• Komunikasi peran ganda
• Tidak ada komunikasi
• Tidak ada kehangatan
• Komunikasi dengan emosi berlebihan
• Komunikasi tertutup
• Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan komplik orang tua
3. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.
4. Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5. Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbic.
6. Faktor genetik
Adanya pengaruh herediter (keturunan) berupa anggota keluarga terdahulu yang mengalami schizoprenia dan kembar monozigot.

KELAS KIMIA NAMA GENERIK (DAGANG) DOSIS HARIAN
Fenotiazin Asetofenazin (Tindal)
Klorpromazin (Thorazine)
Flufenazine (Prolixine, Permitil)
Mesoridazin (Serentil)
Perfenazin (Trilafon)
Proklorperazin (Compazine)
Promazin (Sparine)
Tioridazin (Mellaril)
Trifluoperazin (Stelazine)
Trifluopromazin (Vesprin) 60-120 mg
30-800 mg
1-40 mg
30-400 mg
12-64 mg
15-150 mg
40-1200 mg
150-800mg
2-40 mg
60-150 mg
Tioksanten Klorprotiksen (Taractan)
Tiotiksen (Navane) 75-600 mg
8-30 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzodiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Dihidroindolon Molindone (Moban) 15-225 mg


©2004 Digitized by USU digital library 6
B. PERILAKU
Bibir komat kamit, tertawa sendiri, bicara sendiri, kepala mengangguk – angguk, seperti mendengar sesuatu, tiba – tiba menutup telinga, gelisah, bergerak seperti mengambil atau membuang sesuatu, tiba – tiba marah dan menyerang, duduk terpaku, memandang satu arah, menarik diri.
C. FISIK
1. ADL
Nutrisi tidak adekuat bila halusinasi memerintahkan untuk tidak makan, tidur terganggu karena ketakutan, kurang kebersihan diri atau tidak mandi, tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan aktivitas fisik yang berlebihan, agitasi gerakan atau kegiatan ganjil.
2. Kebiasaan
Berhenti dari minuman keras, penggunaan obat – obatan dan zat halusinogen dan tingkah laku merusak diri.
3. Riwayat kesehatan
Schizofrenia, delirium berhubungan dengan riwayat demam dan penyalahgunaan obat.
4. Riwayat schizofrenia dalam keluarga
5. Fungsi sistim tubuh
• Perubahan berat badan, hipertermia (demam)
• Neurologikal perubahan mood, disorientasi
• Ketidak efektifan endokrin oleh peningkatan temperatur
D. STATUS EMOSI
Afek tidak sesuai, perasaan bersalah atau malu, sikap negatif dan bermusuhan, kecemasan berat atau panik, suka berkelahi.
E. STATUS INTELEKTUAL
Gangguan persepsi, penglihatan, pendengaran, penciuman dan kecap, isi pikir tidak realistis, tidak logis dan sukar diikuti atau kaku, kurang motivasi, koping regresi dan denial serta sedikit bicara.
F. STATUS SOSIAL
Putus asa, menurunnya kualitas kehidupan, ketidakmampuan mengatasi stress dan kecemasan.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.
2. Gangguan persepsi sensori : halusinasi berhubungan dengan isolasi social : menarik diri.
3. Kerusakan interaksi social : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan proses fikir.
5. Perubahan proses fikir berhubungan dengan harga diri rendah.
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurangnya minat.
III. RENCANA INTERVENSI PERAWATAN
Diagnosa keperawatan I : Resiko tinggi perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi pendengaran
Tujuan umum : Klien dapat mengendalikan halusinasinya.
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat


©2004 Digitized by USU digital library 7

Intervensi
1. Bina hubungan saling percaya
• Salam terapeutik
• Perkenalkan diri
• Jelaskan tujuan interaksi
• Buat kontrak yang jelas
• Menerima klien apa adanya
• Kontak mata positif
• Ciptakan lingkungan yang terapeutik
2. Dorong klien dan beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
3. Dengarkan ungkapan klien dengan rasa empati.
Rasional
1. Hubungan saling percaya sebagai dasar interaksi yang terapeutik antara perawat dan klien
2. Ungkapan perasaan oleh klien sebagai bukti bahwa klien mempercayai perawat
3. Empati perawat akan meningkatkan hubungan terapeutik perawat-klien
Evaluasi
Klien dapat mengungkapkan perasaannya dan kondisinya secara verbal
TUK 2 : Klien dapat mengenali halusinasinya
Intervensi :
1. Adakan kontak secara sering dan singkat
2. Observasi tingkah laku verbal dan non verbal klien yang terkait dengan halusinasi (sikap seperti mendengarkan sesuatu, bicara atau tertawa sendiri, terdiam di tengah – tengah pembicaraan).
3. Terima halusinasi sebagai hal yang nyata bagi klien dan tidak nyata bagi perawat.
4. Identifikasi bersama klien tentang waktu munculnya halusinasi, isi halusinasi dan frekuensi timbulnya halusinasi.
5. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya ketika halusinasi muncul.
6. Diskusikan dengan klien mengenai perasaannya saat terjadi halusinasi.
Rasional :
1. Mengurangi waktu kosong bagi klien untuk menyendiri.
2. Mengumpulkan data intervensi terkait dengan halusinasi.
3. Memperkenalkan hal yang merupakan realita pada klien.
4. Melibatkan klien dalam memperkenalkan halusinasinya.
5. Mengetahui koping klien sebagai data intervensi keperawatan selanjutnya.
6. Membantu klien mengenali tingkah lakunya saat halusinasi.
Evaluasi :
1. Klien dapat membedakan hal yang nyata dan yang tidak setelah 3-4 kali pertemuan dengan menceritakan hal – hal yang nyata.
2. Klien dapat menyebutkan situasi, isi dan waktu timbulnya halusinasi setelah 3 kali pertemuan.
3. Klien dapat mengungkapkan respon perilakunya saat halusinasi terjadi setelah 2 kali pertemuan.
TUK 3 : Klien dapat mengendalikan halusinasinya
Intervensi :
1. Identifikasi tindakan klien yang positif.
2. Beri pujian atas tindakan klien yang positif.
3. Bersama klien rencanakan kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4. Diskusikan ajarkan cara mengatasi halusinasi.
5. Dorong klien untuk memilih cara yang disukai untuk mengontrol halusinasi.
6. Beri pujian atas pilihan klien yang tepat.


©2004 Digitized by USU digital library 8
7. Dorong klien untuk melakukan tindakan yang telah dipilih.
8. Diskusikan dengan klien hasil atau upaya yang telah dilakukan.
9. Beri penguatan atas upaya yang telah berhasil dilakukan dan beri solusi jika ada keluhan klien tentang cara yang dipilih.
Rasional :
1. Mengetahui cara – cara klien mengatasi halusinasi baik yang positif maupun yang negatif.
2. Menghargai respon atau upaya klien.
3. Melibatkan klien dalam menentukan rencana intervensi.
4. Memberikan informasi dan alternatif cara mengatasi halusinasi pada klien.
5. Memberi kesempatan pada klien untuk memilihkan cara sesuai kehendak dan kemampuannya.
6. Meningkatkan rasa percaya diri klien.
7. Motivasi respon klien atas upaya yang telah dilakukan.
8. Melibatkan klien dalam menghadapi masalah halusinasi lanjutan
Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan tindakan yang dapat dilakukan dan saat halusinasi terjadi setelah dua kali pertemuan.
2. Klien dapat menyebutkan 2 dari 3 cara mengatasi halusinasi.
TUK 4 : Klien dapat menggunakan obat untuk mengontrol halusinasinya.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien tentang obat untuk mengontrol halusinasinya.
2. Bantu klien untuk memutuskan bahwa klien minum obat sesuai program dokter.
3. Observasi tanda dan gejala terkait efek dan efek samping.
4. Diskusikan dengan dokter tentang efek dan efek samping obat
.
Rasional :
1. Memberikan informasi dan meningkatkan pengetahuan klien tentang efek obat terhadap halusinasinya.
2. Memastikan klien meminum obat secara teratur.
3. Mengobservasi efektivitas program pengobatan.
4. Memastikan efek obat – obatan yang tidak diharapkan terhadap klien.
Evaluasi :
Klien meminum obat secara teratur sesuai instruksi dokter.
TUK 5 : Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengendalikan halusinasi.
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
2. Kaji pengetahuan keluarga tentang halusinasi dan tindakan yang dilakukan keluarga dalam merawat klien.
3. Beri penguatan positif atas upaya yang baik dalam merawat klien.
4. Diskusikan dan ajarkan dengan keluarga tentang : halusinasi, tanda – tanda dan cara merawat halusinasi.
5. Beri pujian atas upaya keluarga yang positif.
Rasional :
1. Sebagai upaya membina hubungan terapeutik dengan keluarga.
2. Mencari data awal untuk menentukan intervensi selanjutnya.
3. Penguatan untuk menghargai upaya keluarga.
4. Memberikan informasi dan mengajarkan keluarga tentang halusinasi dan cara merawat klien.
5. Pujian untuk menghargai keluarga.
Evaluasi :
1. Keluarga dapat menyebutkan cara – cara merawat klien halusinasi.


©2004 Digitized by USU digital library 9
Diagnosa keperawatan 2 : Perubahan sensori persepsi halusinasi pendengaran berhubungan dengan isolasi social : menarik diri.
Tujuan umum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain dan lingkungan sehingga halusinasi dapat dicegah.
TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya
• Menyapa klien dengan ramah
• Mengingatkan kontrak
• Terima klien apa adanya
• Jelaskan tujuan pertemuan
• Sikap terbuka dan empati
Rasional :
Kejujuran, kesediaan dan penerimaan meningkatkan kepercayaan hubungan antara klien dengan perawat.
Evaluasi :
Setelah 2 kali pertemuan klien dapat menerima kehadiran perawat.
TUK 2 : Klien dapat mengenal perasaan yang menyebabkan perilaku menarik diri.
Intervensi :
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri.
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri.
3. Diskusikan bersama klien tentang menarik dirinya.
4. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.
Rasional :
1. Mengetahui sejauh mana pengetahuan klien tentang menarik diri sehingga perawat dapat merencanakan tindakan yang selanjutnya.
2. Untuk mengetahui alasan klien menarik diri.
3. Meningkatkan harga diri klien sehingga berani bergaul dengan lingkungan sosialnya.
Evaluasi :
Setelah 1 kali pertemuan klien dapat menyebutkan penyebab atau alasan menarik diri.
TUK 3 : Klien dapat mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
1. Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
2. Dorong klien untuk menyebutkan kembali manfaat berhubungan dengan orang lain.
3. Beri pujian terhadap kemampuan klien dalam menyebutkan manfaat berhubungan dengan orang lain.
Rasional :
1. Meningkatkan pengetahuan klien tentang perlunya berhubungan dengan orang lain.
2. Untuk mengetahui tingkat pemahaman klien terhadap informasi yang telah diberikan.
3. Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
Evaluasi :
Klien dapat menyebutkan 2 dari 3 manfaat berhubungan dengan orang lain
• Mendapat teman
• Dapat mengungkapkan perasaan
• Membantu memecahkan masalah


©2004 Digitized by USU digital library 10
TUK 4 : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain.
2. Dorong dan bantu klien berhubungan dengan orang lain secara bertahap antara lain :
• Klien-perawat
• Klien-perawat-perawat lain
• Klien-perawat-perawat lain-klien lain
• Klien-kelompok kecil (TAK)
• Klien-keluarga
3. Libatkan klien dalam kegiatan TAK dan ADL ruangan
4. Reinforcement positif atas keberhasilan yang telah dicapai klien.
Rasional :
1. Untuk mengetahui pemahaman klien terhadap informasi yang telah diberikan.
2. Klien mungkin mengalami perasaan tidak nyaman, malu dalam berhubungan sehingga perlu dilatih secara bertahap dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Membantu klien dalam mempertahankan hubungan inter personal.
4. Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
Evaluasi :
Klien dapat menyebutkan cara berhubungan dengan orang lain, misalnya :
• Membalas sapaan perawat
• Kontak mata positif
• Mau berinteraksi
TUK 5 : Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
1. Diskusikan tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
2. Dorong klien untuk mengemukakan perasaan keluarga
3. Dorong klien untuk mengikuti kegiatan bersama keluarga seperti : makan, ibadah dan rekreasi.
4. Jelaskan kepada keluarga tentang kebutuhan klien.
5. Bantu keluarga untuk tetap mempertahankan hubungan dengan klien yaitu memperlihatkan perhatian dengan kunjungan rumah sakit.
6. Beri klien penguatan misalnya : membawa makanan kesukaan klien.
Rasional :
1. Mengidentifikasi hambatan yang dirasakan klien.
2. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan klien dengan keluarga.
3. Membantu klien dalam meningkatkan hubungan interpersonal dengan keluarga.
4. Klien menarik diri membutuhkan perhatian yang khusus.
5. Keterlibatan keluarga sangat membantu dalam mengembangkan interaksi dengan lingkungannya.
6. Meningkatkan rasa percaya diri klien kepada keluarga dan merasa diperhatikan.
Evaluasi :
1. Setelah 2 kali pertemuan klien dapat membina hubungan dengan keluarga.
2. Keluarga mengunjungi klien ke rumah sakit setiap minggu secara bergantian.
Diagnosa keperawatan 3 Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan gangguan konsep diri : harga diri rendah.
Tujuan umum : Klien mampu berhubungan dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.


©2004 Digitized by USU digital library 11

TUK 1 : Klien dapat memperluas kesadaran diri.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien kelebihan yang dimilikinya.
2. Diskusikan kelemahan yang dimiliki klien.
3. Beritahu klien bahwa manusia tidak ada yang sempurna, semua memiliki kelebihan dan kekurangan.
4. Beritahu klien bahwa kekurangan bisa ditutupi dengan kelebihan yang dimiliki klien.
5. Anjurkan klien untuk lebih meningkatkan kelebihan yang dimiliki klien.
6. Beritahukan bahwa ada hikmah di balik kekurangan yang dimiliki.
Rasional :
1. Mengidentifikasikan hal – hal positif yang masih dimiliki klien.
2. Mengingatkan klien bahwa ia manusia biasa yang mempunyai kekurangan.
3. Menghadirkan realita pada klien.
4. Memberikan harapan pada klien.
5. Memberikan kesempatan berhasil lebih tinggi.
6. Agar klien tidak merasa putus asa.
Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan kemampuan yang ada pada dirinya setelah 1 kali pertemuan.
2. Klien dapat menyebutkan kelemahan yang dimiliki dan tidak menjadi halangan untuk mencapai keberhasilan.
TUK 2 : Klien dapat menyelidiki dirinya.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien ideal dirinya, apa harapan selama di RS, rencana klien setelah pulang dan apa cita – cita yang ingin dicapai.
2. Bantu klien mengembangkan antara keinginan dan kemampuan yang dimilikinya.
3. Beri kesempatan klien untuk berhasil.
4. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
Rasional :
1. Untuk mengetahui sampai dimana realistis dari harapan klien.
2. Membantu klien membentuk harapan yang realistis.
3. Meningkatkan percaya diri klien.
4. Meningkatkan penghargaan terhadap perilaku yang positif.
Evaluasi :
Klien dapat menyebutkan cita-cita dan harapan yang sesuai dengan kemampuannya setelah 1 kali pertemuan.
TUK 3 : Klien dapat mengevaluasi dirinya.
Intervensi :
1. Bantu klien mengidentifikasi kegiatan atau yang berhasil dicapainya.
2. Kaji bagaimana perasaan klien dengan keberhasilan tersebut.
3. Bicarakan kegagalan yang pernah dialami klien dan sebab – sebab kegagalan.
4. Kaji bagaimana respon klien terhadap kegagalan tersebut dan cara mengatasinya.
5. Jelaskan pada klien bahwa kegagalan yang dialami dapat menjadi pelajaran untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Rasional :
1. Mengingatkan klien bahwa ia tidak selalu gagal.
2. Memberi kesempatan klien untuk menilai dirinya sendiri.


©2004 Digitized by USU digital library 12
3. Mengetahui apakah kegagalan tersebut mempengaruhi klien.
4. Mengetahui koping yang selama ini digunakan oleh klien.
5. Memberikan kekuatan pada klien bahwa kegagalan itu bukan merupakan akhir dari suatu usaha.
Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan keberhasilan yang pernah dialami setelah 1 kali pertemuan.
2. Klien dapat menyebutkan kegagalan yang pernah dialami setelah 4 kali pertemuan.
TUK 4 : Klien dapat membuat rencana yang realistis.
Intervensi :
1. Bantu klien merumuskan tujuan yang ingin dicapainya.
2. Diskusikan dengan klien tujuan yang ingin dicapai dengan kemampuan klien.
3. Bantu klien memilih priotitas tujuan yang mungkin dapat dicapainya.
4. Beri kesempatan klien untuk melakukan kegiatan yang telah dipilih.
5. Tunjukkan keterampilan dan keberhasilan yang telah dicapai klien.
6. Ikut sertakan klien dalam kegiatan aktivitas kelompok.
7. Beri reinforcement positif bila klien mau mengikuti kegiatan kelompok.
Rasional :
1. Agar klien tetap realistis dengan kemampuan yang dimiliki.
2. Mempertahankan klien untuk tetap realistis.
3. Agar prioritas yang dipilih sesuai dengan kemampuan.
4. Menghargai keputusan yang telah dipilih klien.
5. Memberikan penghargaan atas keberhasilan yang telah dicapai.
6. Memberikan kesempatan klien di dalam kelompok mengembangkan kemampuannya.
7. Meningkatkan harga diri klien.
Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan tujuan yang ingin dicapai setelah 1 kali pertemuan.
2. Klien dapat membuat keputusan dan mencapai tujuan setelah 1 kali pertemuan.
TUK 5 : Klien dapat dukungan keluarga yang meningkatkan harga dirinya.
Intervensi :
1. Diskusikan dengan keluarga tanda – tanda harga diri rendah.
2. Anjurkan setiap anggota keluarga untuk mengenal dan menghargai klien tidak mengejek, tidak menjauhi.
3. Anjurkan pada keluarga untuk memberikan kesempatan berhasil pada klien.
4. Anjurkan pada keluarga untuk menerima klien apa adanya.
5. Anjurkan keluarga untuk melibatkan klien dalam setiap pertemuan keluarga.
Rasional :
1. Mengantisipasi masalah yang timbul.
2. Menyiapkan support sistem yang akurat.
3. Memberikan kesempatan pada klien untuk sukses.
4. Membantu meningkatkan harga diri klien.
5. Meningkatkan interaksi klien dengan anggota keluarga.
Evaluasi :
1. Keluarga dapat menyebutkan tanda – tanda harga diri rendah.
• Mengatakan diri tidak berharga
• Tidak berguna dan tidak mampu
• Pesimis dan menarik diri dari realita
2. Keluarga dapat berespon dan memperlakukan klien secara tepat setelah 2 kali pertemuan.


©2004 Digitized by USU digital library 13
Diagnosa keperawatan 4 : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan proses pikir.
Tujuan umum : Klien dapat mengontrol halusinasinya.
TUK 1 : Klien dapat mengenal akan wahamnya.
Intervensi :
1. Adakan kontrak sering dan singkat.
• Gunakan teknik komunikasi terapeutik.
• Pertahankan konsistensi perawat yang bertugas.
2. Jangan membantah atau menyangkal keyakinan pasien.
Rasional :
Hal ini mendorong untuk menyampaikan rasa empati, mengembangkan rasa percaya dan akhirnya mendorong klien untuk mendiskusikannya. Untuk memudahkan rasa percaya dan kemampuan untuk mengerti akan tindakan dan komunikasi pasien membantah atau menyangkal tidak akan bermanfaat apa – apa.
Evaluasi :
Klien dapat mengenal akan wahamnya setelah mendapat penjelasan dari perawat dalam 4 x pertemuan.
TUK 2 : Klien dapat mengendalikan wahamnya.
Intervensi :
1. Bantu klien untuk mengungkapkan anansietas, takut atau tidak aman.
2. Focus dan kuatkan pada orang – orang yang nyata, ingatan tentang pikiran irasional. Bicarakan kejadian – kejadian dan orang – orang yang nyata.
3. Diskusikan cara untuk mencegah waham, contoh percaya pada orang lain, belajar akan kenyataan, bicara dengan orang lain, yakin akan dirinya bahwa tidak ada yang akan mengerti perasaannya bila tidak cerita dengan orang lain.
Rasional :
1. Ungkapkan perasaan secara verbal dalam lingkungan yang tidak terancam akan mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya yang mungkin sudah terpendam.
2. Diskusikan yang berfokus pada ide – ide yang salah tidak akan mencapai tujuan dan mungkin buat psikosisnya lebih buruk jika pasien dapat belajar untuk menghentikan ansietas yang meningkat, pikiran waham dapat dicegah.
Evaluasi :
1. Klien dapat mengendalikan wahamnya dengan bantuan perawat dengan menggunakan cara yang efektif dalam 4 x pertemuan.
TUK 3 : Klien dapat mengevaluasi dirinya.
Intervensi :
1. Bantu klien mengidentifikasi kegiatan atau keinginan yang berhasil dicapainya.
2. Kaji bagaimana perasaan klien dengan keberhasilan.
3. Bicarakan kegagalan yang pernah dialami klien dan sebab – sebab kegagalan
4. Kaji bagaimana respon klien terhadap kegagalan tersebut dan cara mengatasi
5. Jelaskan pada klien bahwa kegagalan yang dialami dapat menjadi pelajaran untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Rasional :
1. Mengingatkan klien bahwa ia tidak selalu gagal.
2. Memberi kesempatan klien untuk menilai dirinya sendiri
3. Mengetahui koping yang selama ini digunakan oleh klien


©2004 Digitized by USU digital library 14
4. Memberikan kekuatan pada klien bahwa kegagalan itu bukan merupakan akhir dari suatu usaha.
Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan keberhasilan yang pernah dialami setelah 1 x pertemuan.
2. Klien dapat menyebutkan kegagalan yang pernah dialami setelah 4 x pertemuan.
TUK 4 : Klien dapat membuat rencana yang realistis.
Intervensi :
1. Bantu klien memuaskan tujuan yang ingin dicapainya.
2. Diskusikan dengan klien tujuan yang ingin dicapai dengan kemampuan klien.
3. Bantu klien untuk memilih prioritas tujuan yang mungkin dapat dicapainya.
4. Beri kesempatan klien untuk melakukan kegiatan yang telah dipilih.
5. Tunjukkan keterampilan yang telah dicapai klien.
6. Ikutsertakan klien dalam kegiatan aktivitas kelompok.
Rasional :
1. Agar klien dapat tetap realistis dengan kemampuan yang dimiliki.
2. Mempertahankan klien agar tetap realistis.
3. Agar prioritas yang dipilih sesuai dengan kemampuan.
4. Menghargai keputusan yang telah dipilih klien.
5. Memberi penghargaan atas keberhasilan yang telah dicapai.
6. Memberikan kesempatan klien di dalam kelompok mengembangkan kemampuannya.
Diagnosa keperawatan 5 : Perubahan proses pikir berhubungan dengan harga diri rendah kronis.
Tujuan umum : Klien mampu berhubungan dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.
TUK 1 : Klien dapat memperluas kesadaran diri
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien kelebihan yang dimilikinya
2. Diskusikan kelemahan yang dimiliki klien
3. Beritahu klien bahwa manusia tidak ada yang sempurna, semua memiliki kelebihan dan kekurangan.
4. Beritahu klien bahwa kekurangan bisa ditutup dengan kelebihan yang dimiliki.
5. Beritahukan klien bahwa ada hikmah di balik kekurangan yang dimiliki
Rasional :
1. Mengidentifikasi hal – hal positif yang masih dimiliki klien
2. Mengingatkan klien bahwa klien manusia biasa yang mempunyai kekurangan
3. Menghadirkan harapan pada klien
4. Agar klien tidak merasa putus asa
Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan kemampuan yang ada pada dirinya setelah 1 x pertemuan
2. Klien dapat menyebutkan kelemahan yang dimiliki dan tidak menjadi halangan untuk mencapai keberhasilan
TUK 2 : Klien dapat menyelidiki dirinya
Intervensi :
1. Diskusikan dengan klien ideal dirinya, apa rencana selama di RS, rencana klien setelah pulang dan apa cita – cita yang ingin dicapai
2. Bantu klien mengembangkan antara keinginan dan kemampuan yang dimilikinya


©2004 Digitized by USU digital library 15
3. Beri kesempatan pada klien untuk berhasil
4. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
Rasional :
1. Untuk mengetahui sampai dimana realistis dan harapan pasien.
2. Membantu klien untuk membentuk harapan yang realistis
3. Meningkatkan rasa percaya diri klien
4. Memberi penghargaan terhadap perilaku yang positif
Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan cita – cita dan harapan yang sesuai dengan kemampuannya setelah 1 x pertemuan.
Diagnosa keperawatan 6 : Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
Tujuan umum : Klien dapat melakukan perawatan diri
TUK 1 : Klien mengetahui keuntungan melakukan perawatan diri
Intervensi :
1. Diskusikan tentang keuntungan melakukan perawatan diri
2. Dorong klien untuk menyebutkan kembali keuntungan dalam melakukan perawatan diri
3. Beri pujian terhadap kemampuan klien dalam menyebutkan keuntungan melakukan perawatan diri
Rasional :
1. Untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang perlunya perawatan diri
2. Untuk mengetahui tingkat pemahaman klien tentang informasi yang telah diberikan
3. Reinforcement posisitf dapat menyenangkan hati pasien
Evaluasi :
Klien dapat menyebutkan keuntungan dari melakukan perawatan diri seperti memelihara kesehatan dan memberi rasa nyaman dan segar.
TUK 2 : Klien mengetahui kerugian jika tidak melakukan perawatan diri
Intervensi :
1. Diskusikan tentang kerugian tidak melakukan perawatan diri
2. Beri pujian terhadap kemampuan klien dalam menyebutkan kerugian tidak melakukan perawatan diri.
Rasional :
1. Untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan klien tentang perlunya perawatan diri.
2. Reinforcement positif untuk menyenangkan hati klien.
Evaluasi :
Klien dapat menyebutkan kerugian dari tidak melakukan perawatan diri seperti terkena penyakit, sulit mendapat teman.
TUK 3 : Klien berminat melakukan perawatan diri
Intervensi :
1. Dorong dan bantu klien dalam melakukan perawatan diri
2. Beri pujian atas keberhasilan klien melakukan perawatan diri
Rasional :
1. Untuk meningkatkan minat klien dalam melakukan perawatan diri
2. Reinforcement positif dapat menyenangkan hati klien dan meningkatkan minat klien untuk melakukan perawatan diri.
Evaluasi :
Klien melakukan perawatan diri seperti : mandi memakai sabun 2 x sehari, menggosok gigi dan mencuci rambut, memotong kuku.


©2004 Digitized by USU digital library 16

DAFTAR PUSTAKA
Budiana keliat (1999). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta, EGC
Cook & Fountaine (1987). Essentials mental health nursing. Addison-wesley publishing Company.
Rasmun (2001). Keperawatan kesehatan mental psikiatri terintegrasi dengan keluarga. Jakarta : Fajar Interpratama
Stuart & Sudden (1988). Buku saku keperawatan jiwa
Towsend, Mary C (1998). Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri
Kaplan & Sadock (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta : Widya Medika

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SKIZOFRENIA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SKIZOFRENIA

A. Pengkajian


1. Riwayat. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stresor pencetus dan data yang signifikan.
§ Kerentanan genetic-biologik (riwayat keluarga)
§ Peristiwa hidup yang menimbulkan stress
§ Hasil pemeriksaan status mental
§ Riwayat psikiatrtik dan keptuhan terhdap pengobatan di masa lalu
§ Riwayat pengobatan
§ Penggunaan obat dan alkohol
§ Riwayat pendidkkan dan pekerjaan
2. Kaji klien untuk adanya gejala-gejala karakteristik
3. Kaji sistem pendukung keluarga dan komunitas
Pengaturan hidup saat ini dan tingkat pengawasan
Keterlibatan dan dukungan keluarga
Manajer kasus atau ahli terapi
§ Pertisipasi dalam program pengobatan komunitas
4. Kaji pengetahuan dasar klien dan keluarga. Kaji apakah klien dan keluarganya mempunyai pengetahuan yang cukup tentang :
Gangguan skizofrenia
Rekomendasi medikasi dan pengobatan
Tanda-tanda kekambuhan
§ Tindakan untuk mengurangi stres
5. Kaji klein untuk adanya efek samping medikasi antipsikotik
Efek sistem pyramidal ( extrapyramidal system ;ESE,). Gunakan alat-alat tertentu, seperti skala AIMS atau skala neurological simpson, untuk melakukan pengkajian.
Afek antikolinergik
Efek kardiovaskuler

B.Diagnosis keperawatan

1. Analisis gejala positif dan negative
2. Analisis kekutan dan kelemahan klien, termasuk:
Kemampuan mengurus diri
Sosialisasi
Komunikasi
Menguji realitas
Keterampilan pekerjaan
Sistem pendukung
3. Analisis faktor-faktor yang meningkatkan resiko ekspresi perilaku yang tidak disadari, termasuk:
Agitasi
Marah
Curiga
Adanya halusinasi yang mengancam
4. Membentuk dan memprioritaskan diagnosis keperawatan bagi klien dan kelurganya.
Harga diri rendah, kronis
Koping keluarga tidak efektif : memburuk
Gangguan penetalaksaan pemeliaharan rumah
Koping individu tidak efektif
Kurang pengetahuan ( sebutkan)
Penatalaksanaan tidak efektif progarm terapeutik : keluarga
Penatalaksanaan tidak efektif progarm terapeutik : individu
Ketidakpatuhan
Perubahan kinerja peran
Kurang perawatan diri ( sebutkan)
Perubahan sensorik/persepsi: penglihatan, penedengaran , kinestetik, pengecapan, peraba, penciuman (sebutkan)
Perubahan proses berfikir
Resiko kekerasan terhadap diri sendiri/orang lain

C.Perencanaan dan identifikasi hasil
1. Tetapkan tujuan yang realistis bersama klien.2. Tetapkan kriteria hasil yang diinginkan bagi klien dengan gangguna skizofrenia. 3. Tetapkan criteria hasil yang diinginkan bagi keluarga yang memilki anggota keluarga skizofrenia.

D. Implementasi

1. Klien yang menarik diri dan isolasi
Gunakan diri secara terapeutik.
Lakukan interaksi yang terencana, singkat, sering dan tidak menuntut.
Rencanakan kativitas sederhana satu-lawan-satu.
Pertahankan konsistensi dan kejujuran dalam interaksi.
Secara bertahap anjurkan klien untuk berinteraksi dengan teman-temannya dalam situasi yang tidak mengancam
Berikan pelatihan keterampilan sosial.
Lakukan berbagai tindakan untuk meningkatkan harga diri.
2. Klien menunjukkan perilaku regresif atau tidak wajar
Lakukan pendekatan apa adanya terhadap perilaku aneh (jangan memperkuat perilaku ini).
Perlakukan klien sebagai orangdewasa, waluapun ia mengalami regresi.
Pantau pola makan klien; dan beri dukungan serta bantuan bila perlu.
Bantu klien dalam hal higiene dan berdandan, hanya bila ia tidak dapat melakukannya sendiri.
Berhati-hati dengan sentuhan karena dapat dianggap sebagai ancaman
Buat jadwal rutin aktivitas hidup sehari-hari.
Berikan pilhan sederhana dari dua hal bagi klien yang mengalami mabivalensi
3. Klien dengan pola komunikasi tidak jelas
Perthankan komunikasi anda sendiri agar tetap jelas dan tidak ambigu.
Pertahankan konsistensi komunikasi verbal dan nonverbal anda.
Klarifikasi setiapmakna yang ambigu atau tidak jelas berkaitan dengan komunikasi klien
4. Klien curiga dan kasar
Bentuk hubungan profesional; terlalu ramah dapat diangap ancaman.
Berhati-hati dengan sentuhan karena dapat dianggap sebagai ancaman.
Berikan kontrol dan otonomi sebanyak mungkin kepada klien dalam batas-batas terapeutik.
Ciptakan rasa percaya melalui interaksi singkat yang mengomunikasikan perhatian dan rasa hormat.
Jelaskan setiap pengobatan, medikasi dan pemeriksaan laboratorium sebelum memulainya.
Jangan berfokus atau memperkuat ide curiga atau waham.
Identifikasi dan berikan respons terhadap kebutuhan emosi yang mendasari kecurigaan atau waham
Lskuksn intervensi bila klien menunujjkan tanda-tanda peningkatan ansietas dan berpotensi mengkejspresikan perilaku yang tidak disadarinya.
Berhati-hatilah untuk tidak berperilaku dengan cara yang dapat disalahartikan kilen.
5. Klien dengan halusinasi atau waham
Jangan memfokuskan perhatian pada halusinasi atau waham. Lakukan interupsi terhadap halusinasi klien dengan memulai interaksi satu-lawan-satu yang didasarkan pada realitas.
Katakan bahwa Anda tidak sependapat dengan persepsi klien, tetapi validasi bahwa anda percaya bahwa halusinasi tersebut nyata bagi klien.
Jangan berargumentasi dengan klien tentang halusinasi atau waham.
Berikan respons terhadap perasaan yang dikomunikasikan klien pada saat ia mengalami halusinasi atau waham.
Alihkan dan fokuskan klien pada aktivitas yang terstruktur atau tugas berbasis realitas.
Pindahkan klien ke tempat yang lebih tenang, yang kurang menstimulasi.
Tunggu sampai klien tidak mengalami halusinasi atau waham sebelum memulai sesi penyuluhan tentang hal itu.
Jelaskan bahwa halusinasi atau waham adalah gejala-gejala gangguan psikiatrik.
Katakan bahwa ansietas atau peningkatan stimulus dari lingkungan, dapat menstimulasi timbulnya halusinasi.
Bantu klien mengendalikan halusinasinya dengan berfokus pada realitas dan minum obat sesuai resep.
Bila halusinasi tetap ada, Bantu klien untk mengabaikannya dan tetap bertindak dengan benar walaupun terjadi halusinasi.
Ajarkan berbagai strategi kognitif dan katakan kepada klien untuk menggunakan percakapan diri (“suara-suara itu tidak masuk akal”) dan penghentian pikiran (“saya tidak akan memikirkan tentang hal ini”).
6. Klien dengan perilaku agitasi dan berpotensi melakukan kekerasan
Observasi tanda-tanda awal agitasi; lakukan intervensi sebelum ia mulai mengekpresikan perilaku yang tidak disadarinya.
Berikan lingkungan yang aman dan tenang; kurangi stimulus ketika klien mengalami agitasi.
Jangan membalas klien bila klien berkata kasar; gunakan nada suara yang tenang. Berikan ruang pribadi dan hindari kontak fisik.
Dorong klien untuk membicarakan, dan bukan melampiaskan perasaannya.
Tawarkan obat seperlunya kepada klien yang mengalami agitasi.
Isolasi klien dari lingkungan sosial klien bila agitasi meningkat.
Tetapkan batasan-batasan perilaku yang tidak dapat diterima dan secara konsisten ikuti protokol institusi untk mengambil tindakan.
Ikuti protokol institusi untuk menghadapi klien yang mengekspresikan perilaku yang tidak disadari.
Pastikan bahwa semua anggota staf ada di tempat pada saat berupaya meredakan kekerasan yang dilakukan klien. Bila diperlukan restrein, laukan secara aman dan dengan sikap yang tidak menghukum, ikuti protokol dan berikan lingkungan yang aman.
7. Keluarga dari klien dengan gangguan skizofrenia
Anjurkan setiap anggota keluarga untuk mendiskusikan perasaan dan kebutuhannya.
Bantu keluarga mendefinisikan aturan-aturan dasar tentang menghormati privasi orang lain dan hidup bersama.
Anjurkan setiap anggota keluarga untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
Anjurkan setiap anggota keluarga untuk terlibat dalam kegiatan kelompok pendukung.
Bantu setiap anggota keluarga untuk mengidentifikasi situasi yang menimbulkan ansietas dan menyusun rencana strategi koping yang spesifik.
Ajarkan pada keluarga tentang penyakit skizofrenia dan penatalaksanaannya.

Penyuluhan keluarga yang anggota keluarganya menderita skizofrenia
1. Ajarkan pada keluarga tentang skizofrenia :
§ Skizofrenia adalah gangguan otak yang memengaruhi semua aspek fungsional.Tidak ada penyebab tunggal yang telah ditetapkan, tetapi penelitian menunjukkan bahwa penyebabnya, antara lain genetika, perubahan struktur dan kimia otak, serta berbagai faktor yang berkaitan dengan stress.
§ Gejala-gejalanya dapat mencakup mendengar suara-suara (halusinasi), keyakinan yang keliru (waham), berkomunikasi dengan cara yang sulit dipahami, serta fungsi okupasi dan sosial yang buruk.
§ Gejala-gejala dapat membaik, tetapi dapat juga kambuh terus seumur hidup.
2. Ajarkan pada keluarga tentang :
§ Obat-obatan antipsikotik yang digunakan; penting bagi klien untuk meminumnya sesuai resep.
§ Efek samping yang banyak terjadi dan dapat diatasi bila segera dilaporkan ke penyedia layanan kesehatan. (Berikan informasi spesifik mengenai obat klien).
§ Menindaklanjuti perawatan dengan ahli terapi atau manajer perawatan merupakan hal yang sangat penting.
3. Ajarkan pada keluarga tentang cara-cara mengatasi gejala klien :
Identifikasi berbagai kejadian yang secara tipikal mengecewakan klien dan memberikan bantuan ekstra sesuai kebutuhan.
Catat kapan klien menjadi marah dan lakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi ansietas.
Tindakan untuk mengurangi ansietas meliputi istirahat, teknik-teknik relaksasi, keseimbangan antara istirahat dan aktivitas, dan diet yang tepat.
Catat gejala-gejala yang ditunjukkan klien ketika ia sakit, dan bila ini terjadi anjurkan klien untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan (bila ia menolak, Anda harus menghubungi sendiri penyedia layanan kesehatan tersebut).
Tidak menyetujui pernyataan klien tentang halusinasi atau waham; beri tahu tentang realitas, tetapi jangan berargumentasi dengan klien.
Informasi tambahan :
Ajarkan kepada keluarga tentang perawatan diri
Anjurkan keluarga untuk membicarakan tentang perasaan dan kekhawatiran mereka dengan penyedia layanan kesehatan.
Anjurkan keluarga untuk mau mempertimbangkan bergabung dengan kelompok pendukung atau bantuan masyarakat.

E. Evaluasi hasil

1. Klien mengidentifikasikan perasaan internalnya terhadap ansietas dan menggunakan tindakan koping yang sudah dipelajarinya untuk mengurangi ansietas.
2. Klien dapat menjaga hygiene dirinya.
3. Klien mengikuti jadwal rutin untuk aktivitas hidup sehari-hari.
4. Klien menunjukkan perilaku yang tepat dalam situasi sosial.
5. Klien berkomunikasi tanpa menunjukkan pemikiran disosiasi.
6. Klien membedakan antara pikiran da perasaan yang distimulasi dari dalam dirinya dan yang distimulasi dari luar.
7. Klien menunjukkan berkurangnya atau terkendalinya cara berpikir magis, waham, halusinasi dan ilusi.
8. Klien menunjukkan perbaikan interaksi sosial dengan orang lain.
9. Klien menunjukkan afek yang sesuai dengan perasaan, pikiran, dan situasi.
10. Klien menunjukkan berkurangnya perasaan curiga, negatif dan marah.
11. Klien mengidentifikasi aspek-aspek positif pada dirinya.
12. Anggota keluarga menggunakan strategi koping yang efektif untuk mengatasi situasi yang menimbulkan ansietas.
13. Klien berpartisipasi dalam rencana pengobatan dan mau menindaklanjuti program pengobatan di komunitas.
14. Klien dan keluarga menggunakan pengetahuan tentang gangguan, program pengobatan, medikasi, gejala-gejala dan penatalaksanaan krisis secara berkelanjutan.

Kamis, 03 Juni 2010

Osteomielitis

Pengertian
Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulitdi sembuhkan dari pada infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi , tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Pembentukan tulang baru disekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas.
Infeksi disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fukos infeksi di tempat lain ( misalnya : tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas ). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat di mana terdapat trauma atau di mana terdapat resistensi rendah, kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Infeksi dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak (misalnya : ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang ( misalnya : fraktur terbuka, cedera traumatic seperti luka tembak, pembedahan tulang).
Pasien yang beresiko tinggi mengalami Osteomielitis adalah mereka yang nutrisinya buruk, lansia, kegemukan, atau penderita diabetes mellitus. Selain itu, pasien yang menderita artitis rheumatoid, telah di rawat lama di rumah sakit, mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi sekarang, atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami nefrosis insisi margial atau dehidrasi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma pascaoperasi.
Etiologi
• Staphylococcus aureus 70% – 80 %
• Proteus
• Pseudomonas
• Escerehia Coli
Dilakukan kultur
Awitan Osteomielitis :
ü Setelah pembedahan ortopedi terjadi 3 bulan pertama (Akut Fulminan-Stadium 1)
ü Antara 4-24 bulan setelah pembedahan (Awitan Lambat-Stadium 2)
ü Penyebaran hematogen lebih dari 2 tahun setelah pembedahan (Awitan Lama-Stadium 3)
Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik.
Awitan Osteomielitis stelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan – stadium 1) dan sering berhubngan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses tulang.
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronis.
Klasifikasi
Osteomielitis dapat diklasifikasikan dua macam yaitu:
• Osteomielitis Primer
Penyebarannya secara hematogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
• Osteomielitis Sekunder (Osteomielitis Perkontinuitatum)
Terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dan sebagainya.
Tanda dan Gejala
Gambaran klinis osteomielitis tergantung dari stadium patogenesis dari penyakit, dapat berkembang secara progresif atau cepat. Pada keadaan ini mungkin ditemukan adanya infeksi bacterial pada kulit dan saluran napas bagian atas. Gejala lain dapat berupa nyeri yang konstan pada daerah infeksi dan terdapat gangguan fungsi anggota gerak yang bersangkutan.
Manifstasi Klinis
Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering terjadi dengan manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi, tachycardia dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi gejala local secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul.
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi membengkak, hangat, nyeri, dan nyeri tekan.
Pada pasein dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah terjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.
Evaluasi Diagnostik
Pada Osteomielitis akut ; pemeriksaan sinar-x hanya menunjukan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nefrosis tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru. Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis definitive awal. Pemeriksaan darah memperhatikan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kulur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang sesuai.
Pada Osteomielitis kronik, besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. Pemindaian tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area terinfeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif dan terapi antibiotic yang tepat.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endapan darah.
2. Pemeriksaan titer antibodi – anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas.
3. Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella.
4. Pemeriksaan Biopsi tulang.
5. Pemeriksaan ultra sound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
6. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus.
Prinsip penatalaksanaan
Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi. Kultur darah, swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu pathogen.
Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap peningkatan semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus-menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik dinagkat dan daerah itu diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Terapi antibiotika dilanjutkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk menjalankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpenghisap untuk mengontrol hematoma dan membuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dangan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dangan grafit tulang kanselus untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah, perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, yang kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.
Pencegahan
Pencegahan Osteomielitis adalah sasaran utamanya. Penanganan infeksi fokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan lunak dapat mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatikan terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden osteomielitis pascaoperasi.
Antibioika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat pembedahan dan Selma 24 sampai 48 jam setelah operasi akan sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptic akan menurunkan insiden infeksi superficial dan potensial terjadinya osteomielitis.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
v Identifikasi awitan gejala akut : nyeri akut, pembangkakan, eritma, demam atau keluarnya pus dari sinus disertai nyeri, pembengkakan dan demam.
v Kaji faktor resiko : Lansia, DM, terapi kortikosteroid jangka panjang, cedera, infeksi dan riwayat bedah ortopedi sebelumnya.
v Hal-hal yang dikaji meliputi umur, pernah tidaknya trauma, luka terbuka, tindakan operasi khususnya operasi tulang, dan terapi radiasi. Faktor-faktor tersebut adalah sumber potensial terjadinya infeksi.
1. Pemeriksaan fisik
Area sekitar tulang yang terinfeksi menjadi bengkak dan terasa lembek bila dipalpasi. Bisa juga terdapat eritema atau kemerahan dan panas. Efek sistemik menunjukkan adanya demam biasanya diatas 380, takhikardi, irritable, lemah bengkak, nyeri, maupun eritema.
1. Riwayat psikososial
Pasien seringkali merasa ketakutan, khawatir infeksinya tidak dapat sembuh, takut diamputasi. Biasanya pasien dirawat lama di rumah sakit sehingga perawat perlu mengfkaji perubahan-perubahan kehidupan khususnya hubungannya dengan keluarga, pekerjaan atau sekolah.
1. Pemeriksaan diagnostik
Hasil laboratorium menunjukan adanya leukositosis dan laju endap darah meningkat. 50% pasien yang mengalami infeksi hematogen secara dini adanya osteomielitis maka dilakukan scanning tulang. Selain itu dapat pula dengan biopsi tulang atau MRI.
2) Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan osteomielitis adalah :
1) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan.
2) Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan menahan beban berat badan.
3) Resiko terhadap perluasan infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang.
4) Kurang pengetahuan tentang program pengobatan.
3) Perencanaan dan Implemantasi
Sasaran pasien meliputi peradaan nyeri, perbaikan mobilitas fisik dalam batas-batas terapeutik, kontrol dan eradikasi infeksi dan pemahaman mengenai program pengobatan.
4) Intervensi Keperawatan
Peradaan Nyeri : Bagian yang terkena harus diimobilisasi dengan bidai untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Sendi diatas dan dibawah bagian yang terkena harus dibuat sedemikian sehingga masih dapat digerakkan sesuai rentangnya namun dengan lembut. Lukanya sendiri kadang terasa nyeri dan harus ditangani dengan hati-hati dan perlahan.
Peninggian dapat mengurangi pembengkakan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkannya Status neurovaskuler ektremitas yang terkena harus terpantau. Teknik untuk mengurangi persepsi nyeri dan analgesic yang diresepkan cukup berguna.
Perbaikan Mobilitas Fisik : Program pengobatan membatasi aktivitas. Tulang menjadi lemah akibat proses infeksi dan harus dilindungi dengan alat imobilisasi dan penghindaran stress pada tulang. Pasien harus memahami rasional pembatasan aktivitas. Tetapi partisipasi aktif dalam kehidupan sehari-hari dalam batas fisik tetap dianjurkan untuk mempertahankan rasa sehat secara umum.
Mengontrol Proses Infeksi : Perawat memantau respons pasien terhadap terapi antibiotika dan melakukan observasi tempat pemasangan infus adanya bukti flebitis atau infiltrasi.
Bila diperlukan pembedahan, harus dilakukan upaya untuk menyakinkan adanya peredaran darah yang memadai (penghisapan luka untuk mencegah penumpukan cairan, peninggian daerah untuk memperbaiki aliaran balik vena, menghindari tekanan pada daerah yang di-grafit), untuk mempertahankan imobilitas yang dibutuhkan dan untuk memenuhi pembatasan beban berat badan.
Kesehatan umum dan nutrisi pasien harus dipantau. Diet protein seimbang, vitamin C dan vitamin D dipilih untuk meyakinkan adanya keseimbangan nitrogen dan merangasang penyembuhan.
Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah : Penanganan osteomielitis, termasuk perawatan luka dan terapi antibiotika intravena, dapat dilakukan di rumah. Pasien harus dalam keadaan stabil secara medis dan telah termotivasi serta keluarga mendukung. Lingkungan rumah harus bersifat kondusif terhadap promosi kesehatan dan sesuai dengan program pengobatan terapeutik.
Pasien dan keluarganya harus memahami benar protokol antibiotika. Selain itu, penggantian balutan secara stesil dan teknik kompres hangat harus diajarkan. Pendidikan pasien sebelum pemulangan dari rumah sakit dan supervise serta dukungan yang memadai dari perawatan di rumah sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan osteomielitis di rumah.
Pasein tersebut harus dipantau dengan cermat mengenai bertambahnya daerah nyeri atau peningkatan suhu yang mendadak. Pasien diminta untuk melakukan obsevasi dan melaporkan bila terjadi peningkatan suhu, keluar pus, bau, dan bertambahnya inflamasi.
5) Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1. Mengalami Peredaan Nyeri
• Melaporkan berkurangnya nyeri
• Tidak mengalami nyeri tekan di tempat terjadinya infeksi\
• Tidak mengalami ketidaknyamanan bila bergerak
1. Peningkatan mobilitas fisik
• Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri
• Mempertahankan fungsi penuh ektremitas yang sehat
• Memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan aman
1. Tidak adanya infeksi
• Memakai antibiotika sesuai resep
• Suhu badan normal
• Tidak ada pembengkakan
• Tidak ada pus
• Angka leukosit dan laju endap darah kembali normal
• Biarkan darah negatif
1. Mamatuhi rencana terapeutik
• Memakai antibiotika sesuai resep
• Melindungi tulang yang lemah
• Memperlihatkan perawatan luka yang benar
• Melaporkan bila ada masalah segera
• Makan diet seimbang dengan tinggi protein dan vitamin C dan D
• Mematuhi perjanjian untuk tindak lanjut
• Melaporkan peningkatan kekuatan
• Tidak melaporkan penigkatan suhu badan atau kekambuhan nyeri, pembengkakan, atau gejala lain di tempat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth, (2001) Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 3,
EGC : Jakarta
Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC ; Jakarta.

sindrom kompartemen

SINDROME KOMPARTEMEN
SINDROME KOMPARTEMEN
A. Definisi
Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak Berdasarkan letaknya komparteman terdiri tulang dari beberapa macam, antara lain:
1. Anggota gerak atas
a. Lengan atas : Terdapat kompartemen anterior dan posterior
b. Lengan bawah : Terdapat tiga kompartemen,yaitu: flexor superficial, fleksor profundus, dan ekstensor
2. Anggota gerak bawah
a. Tungkai atas: Terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial, dan posterior
b. Tungkai bawah
Terdapat empat kompartemen, yaitu: kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior profundus
Syndrome kompartemen yang paling sering terjadi adalah pada daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superficial, dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal)
B. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
• Penutupan defek fascia
• Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
• Balutan yang terlalu ketat
• Berbaring di atas lengan
• Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
• Pendarahan atau Trauma vaskuler
• Peningkatan permeabilitas kapiler
• Penggunaan otot yang berlebihan
• Luka bakar
• Operasi
• Gigitan ular
• Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah.

C. Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu, antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. “Theori of critical closing pressure.”
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan mural arteriol yang tinggi. Tekanan trans mural secara signifikan berbeda ( tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup
c. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan sehingga drainase vena terbentuk kembali

McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen.
Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang.
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus – menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena

D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
1. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
1. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
3. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
E. Penegakan Diagnosa
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnosa kompartemen syndrome dilakukan dengan pengukuran tekanan kompartemen. Pengukuran intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer.
Tekanan kompartemen normalnya adalah 0. Perfusi yang tidak adekuat dan iskemia relative ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolic. Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastoli.
F. Penanganan
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi Medikal/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.
Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
G. Komplikasi
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawa
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

H. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut bd agen injuri fisik/kimiawi
2. Ketidakepektifan perfusi jaringan perifer bd gangguan aliran darah arteri

Referensi
Irga, 2008, Sindroma Kompartemen, dilihat 12 November 2008, http://www.passangereng.blogspot.com
NANDA, Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2001-2002 , Philadelphia

Senin, 24 Mei 2010

KONSEP DASAR PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI URINE

KONSEP DASAR PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI URINE

Miksi (berkemih)

Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi.

Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu :
Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua
Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.

§ Anatomi Fisiologik & Hubungan Saraf pada Kandung Kemih

Kandung kemih yang diperlihatkan pada gambar 31.1, adalah ruangan berdinding otot polos yang terdiri dari dua bagian besar :
Badan (corpus), merupakan bagian utama kandung kemih dimana urin berkumpul dan
Leher (kollum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya dengan uretra.

Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera.

Pada dinding posterior kandung kemih, tepat diatas bagian leher dari kandung kemih, terdapat daerah segitiga kecil yang disebut Trigonum. Bagian terendah dari apeks trigonum adalah bagaian kandung kemih yang membuka menuju leher masuk kedalam uretra posterior, dan kedua ureter memasuki kandung kemih pada sudut tertinggi trigonum. Trigonum dapat dikenali dengan melihat mukosa kandung kemih bagian lainnya, yang berlipat-lipat membentuk rugae. Masing-masing ureter, pada saat memasuki kandung kemih, berjalan secara oblique melalui otot detrusor dan kemudian melewati 1 sampai 2 cm lagi dibawah mukosa kandung kemih sebelum mengosongkan diri ke dalam kandung kemih.

Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 – 3 cm, dan dindingnya terdiri dari otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar jaringan elastik. Otot pada daerah ini disebut sfinter internal. Sifat tonusnya secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior agar kosong dari urin dan oleh karena itu, mencegah pengosongan kandung kemih sampai tekanan pada daerah utama kandung kemih meningkat di atas ambang kritis.

Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital, yang mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini merupakan otot lurik yang berbeda otot pada badan dan leher kandung kemih, yang hanya terdiri dari otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja di bawah kendali sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar untuk menahan miksi bahkan bila kendali involunter berusaha untuk mengosongkan kandung kemih.

§ Persarafan Kandung Kemih

Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan S-3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan serat saraf motorik. Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan refleks yang menyebabkan pengosongan kandung kemih.

Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat ini berakhir pada sel ganglion yang terletak pada dinding kandung kemih. Saraf psot ganglion pendek kemudian mempersarafi otot detrusor.

Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi kandung kemih. Yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada sfingter. Juga, kandung kemih menerima saraf simpatis dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan segmen L-2 medula spinalis. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan pada beberapa keadaan, rasa nyeri.

Transpor Urin dari Ginjal melalui Ureter dan masuk ke dalam Kandung Kemih

Urin yang keluar dari kandung kemih mempunyai komposisi utama yang sama dengan cairan yang keluar dari duktus koligentes, tidak ada perubahan yang berarti pada komposisi urin tersebut sejak mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai kandung kemih.

Urin mengalir dari duktus koligentes masuk ke kaliks renalis, meregangkan kaliks renalis dan meningkatkan pacemakernya, yang kemudian mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis renalis dan kemudian turun sepanjang ureter, dengan demikian mendorong urin dari pelvis renalis ke arah kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis seperi juga neuron-neuron pada pleksus intramural dan serat saraf yang meluas diseluruh panjang ureter.

Seperti halnya otot polos pada organ viscera yang lain, kontraksi peristaltik pada ureter ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis dan dihambat oleh perangsangan simpatis.

Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah trigonum kandung kemih. Normalnya, ureter berjalan secara oblique sepanjang beberapa cm menembus dinding kandung kemih. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik urin dari kandung kemih waktu tekanan di kandung kemih meningkat selama berkemih atau sewaktu terjadi kompresi kandung kemih. Setiap gelombang peristaltik yang terjadi di sepanjang ureter akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang menembus dinding kandung kemih membuka dan memberi kesempatan urin mengalir ke dalam kandung kemih.

Pada beberapa orang, panjang ureter yang menembus dinding kandung kemih kurang dari normal, sehingga kontraksi kandung kemih selama berkemih tidak selalu menimbulkan penutupan ureter secara sempurna. Akibatnya, sejumlah urin dalam kandung kemih terdorong kembali kedalam ureter, keadaan ini disebut refluks vesikoureteral. Refluks semacam ini dapat menyebabkan pembesaran ureter dan, jika parah, dapat meningkatkan tekanan di kaliks renalis dan struktur-struktur di medula renalis, mengakibatkan kerusakan daerah ini.

Sensasi rasa nyeri pada Ureter dan Refleks Ureterorenal.

Ureter dipersarafi secara sempurna oleh serat saraf nyeri. Bila ureter tersumbat (contoh : oleh batu ureter), timbul refleks konstriksi yang kuat sehubungan dengan rasa nyeri yang hebat. Impuls rasa nyeri juga menyebabkan refleks simpatis kembali ke ginjal untuk mengkontriksikan arteriol-arteriol ginjal, dengan demikian menurunkan pengeluaran urin dari ginjal. Efek ini disebut refleks ureterorenal dan bersifat penting untuk mencegah aliran cairan yang berlebihan kedalam pelvis ginjal yang ureternya tersumbat.

Refleks Berkemih

Merujuk kembali pada gambar 31-2, kita dapat melihat bahwa selama kandung kemih terisi, banyak yang menyertai kontraksi berkemih mulai tampak, seperti diperlihatkan oleh gelombang tajam dengan garis putus-putus. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya oleh reseptor pada uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini.

Ketika kandung kemih hanya terisi sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan tekanan turun kembali ke garis basal. Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat.

Sekali refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan “ menghilang sendiri. “ Artinya, kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra posterior, yang menimbulkan peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut, jadi siklus ini berulang dan berulang lagi sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian, setelah beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus regeneratif dari refleks miksi ini berhenti, menyebabkan kandung kemih berelaksasi.

Jadi refleks berkemih adalah suatu siklus tunggal lengkap dari :
Peningkatan tekanan yang cepat dan progresif
Periode tekanan dipertahankan dan
Kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih.

Sekali refleks berkemih terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung kemih, elemen saraf dari refleks ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit sampai satu jam atau lebih sebelum refleks berkemih lainnya terjadi. Karena kandung kemih menjadi semakin terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering dan semakin kuat.

Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak daripada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemih pun akan terjadi. Jika tidak, berkemih tidak akan terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan refleks berkemih menjadi makin kuat.

§ Perangsangan atau Penghambatan Berkemih oleh Otak

Refleks berkemih adalah refleks medula spinalis yang seluruhnya bersifat autonomik, tetapi dapat dihambat atau dirangsang oleh pusat dalam otak.

Pusat-pusat ini antara lain :
Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang otak, terutama terletak di pons dan
Beberapa pusat yang terletak di korteks serebral yang terutama bekerja sebagai penghambat tetapi dapat juga menjadi perangsang.

Refleks berkemih merupakan dasar penyebab terjadinya berkemih, tetapi pusat yang lebih tinggi normalnya memegang peranan sebagai pengendali akhir dari berkemih seperti berikut :
Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial penghambatan refleks berkemih kecuali jika persitiwa berkemih dikehendaki.
Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan jika refleks berkemih timbul, dengan membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapatkan waktu yang baik untuk berkemih.
Jika tiba waktu untuk berkemih, pusat kortikal dapat merangsang pusat berkemih sakral untuk membantu mencetuskan refleks berkeih dan dalam waktu bersamaam menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi.

Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan cara berikut : Pertama, seseorang secara sadar mengkontraksikan otot-otot abdomennya, yang meningkatkan tekanan dalam kandung kemih dan mengakibatkan urin ekstra memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior di bawah tekanan, sehingga meregangkan dindingnya. Hal ini menstimulasi reseptor regang, yang merangsang refleks berkemih dan menghambat sfingter eksternus uretra secara simultan. Biasanya, seluruh urin akan keluar, terkadang lebih dari 5 sampai 10 ml urin tertinggal di kandung kemih.

Pengkajian

§ Pola berkemih
Pada orang-orang untuk berkemih sangat individual

§ Frekuensi
Þ Frekuensi untuk berkemih tergantung kebiasaan dan kesempatan
Þ Banyak orang-orang berkemih kira-kira 70 % dari urine setiap hari pada waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada malam hari.
Þ Orang-orang biasanya berkemih : pertama kali pada waktu bangun tidur, sebelum tidur dan berkisar waktu makan.

§ Volume
Volume urine yang dikeluarkan sangat bervariasi.
Usia Jumlah / hari
·1 Hari pertama & kedua dari kehidupan 15 – 60 ml
·2 Hari ketiga – kesepuluh dari kehidupan 100 – 300 ml
·3 Hari kesepuluh – 2 bulan kehidupan 250 – 400 ml
·4 Dua bulan – 1 tahun kehidupan 400 – 500 ml
·5 1 – 3 tahun 500 – 600 ml
·6 3 – 5 tahun 600 – 700 ml
·7 5 – 8 tahun 700 – 1000 ml
·8 8 – 14 tahun 800 – 1400 ml
·9 14 tahun – dewasa 1500 ml
·10 Dewasa tua 1500 ml / kurang

Jika volume dibawah 500 ml atau diatas 300 ml dalam periode 24 jam pada orang dewasa, maka perlu lapor.

Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih

Diet dan intake
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine, seperti protein dan sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output urine lebih banyak.

Respon keinginan awal untuk berkemih
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk berkemih dan hanya pada akhir keinginan berkemih menjadi lebih kuat. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih. Masyarakat ini mempunyai kapasitas kandung kemih yang lebih daripada normal

Gaya hidup
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi. Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.

Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitive untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.

Tingkat aktifitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi.
Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme tubuh.

Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih.

Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter)
Obat diuretiik dapat meningkatkan output urine
Analgetik dapat terjadi retensi urine.

Urine

Warna :
Þ Normal urine berwarna kekuning-kuningan
Þ Obat-obatan dapat mengubah warna urine seperti orange gelap
Þ Warna urine merah, kuning, coklat merupakan indikasi adanya penyakit.
Bau :
Þ Normal urine berbau aromatik yang memusingkan
Þ Bau yang merupakan indikasi adanya masalah seperti infeksi atau mencerna obat-obatan tertentu.
Berat jenis :
Þ Adalah berat atau derajat konsentrasi bahan (zat) dibandingkan dengan suatu volume yang sama dari yang lain seperti air yang disuling sebagai standar.
Þ Berat jenis air suling adalah 1, 009 ml
Þ Normal berat jenis : 1010 – 1025
Kejernihan :
Þ Normal urine terang dan transparan
Þ Urine dapat menjadi keruh karena ada mukus atau pus.

pH :
Þ Normal pH urine sedikit asam (4,5 – 7,5)
Þ Urine yang telah melewati temperatur ruangan untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas bakteri
Þ Vegetarian urinennya sedikit alkali.
Protein :
Þ Normal : molekul-molekul protein yang besar seperti : albumin, fibrinogen, globulin, tidak tersaring melalui ginjal —- urine
Þ Pada keadaan kerusakan ginjal, molekul-molekul tersebut dapat tersaring —- urine
Þ Adanya protein didalam urine —- proteinuria, adanya albumin dalam urine —- albuminuria.
Darah :
Þ Darah dalam urine dapat tampak jelas atau dapat tidak tampak jelas.
Þ Adanya darah dalam urine — hematuria.
Glukosa :
Þ Normal : adanya sejumlah glukosa dalam urine tidak berarti bila hanya bersifat sementara, misalnya pada seseorang yang makan gula banyak —- menetap pada pasien DM
Þ Adanya gula dalam urine —- glukosa
Keton :
Þ Hasil oksidasi lemak yang berlebihan.

Masalah-masalah dalam Eliminasi

Masalah-masalahnya adalah : retensi, inkontinensia urine, enuresis, perubahan pola urine (frekuensi, keinginan (urgensi), poliurine dan urine suppression).

Penyebab umum masalah ini adalah :
Obstruksi
Pertumbuhan jaringan abnormal
Batu
Infeksi
Masalah-masalah lain.

§ Retensi

Þ Adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
Þ Menyebabkan distensi kandung kemih
Þ Normal urine berada di kandung kemih 250 – 450 ml
Urine ini merangsang refleks untuk berkemih.
Dalam keadaan distensi, kandung kemih dapat menampung urine sebanyak 3000 – 4000 ml urine
o Tanda-tanda klinis retensi
Þ Ketidaknyamanan daerah pubis.
Þ Distensi kandung kemih
Þ Ketidak sanggupan unutk berkemih.
Þ Sering berkeih dalam kandung kemih yang sedikit (25 – 50 ml)
Þ Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikelurakan dengan intakenya.
Þ Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.
o Penyebab
Þ Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.
Þ Pembesaran kelenjar prostat
Þ Strikture urethra.
Þ Trauma sumsum tulang belakang.

§ Inkontinensi urine

Þ Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih
Þ Jika kandung kemih dikosongkan secara total selama inkontinensi —- inkontinensi komplit
Þ Jika kandung kemih tidak secara total dikosongkan selama inkontinensia —- inkontinensi sebagian

o Penyebab Inkontinensi
Þ Proses ketuaan
Þ Pembesaran kelenjar prostat
Þ Spasme kandung kemih
Þ Menurunnya kesadaran
Þ Menggunakan obat narkotik sedative

o Ada beberapa jenis inkontinensi yang dapat dibedakan :

§ Total inkontinensi
Adalah kelanjutan dan tidak dapat diprediksikan keluarnya urine. Penyebabnya biasanya adalah injury sfinter eksternal pada laki-laki, injury otot perinela atau adanya fistula antara kandung kemih dan vagina pada wanita dan kongenital atau kelainan neurologis.

§ Stress inkontinensi
Ketidaksanggupan mengontrol keluarnya urine pada waktu tekanan abdomen meningkat contohnya batuk, tertawa —– karena ketidaksanggupan sfingter eksternal menutup.

§ Urge inkontinensi
Terjadi pada waktu kebutuhan berkemih yang baik, tetapi tidak dapat ketoilet tepat pada waktunya. Disebabkan infeksi saluran kemih bagian bawah atau spasme kandung kemih.

§ Fungisonal inkontinensi
Adalah involunter yang tidak dapat diprediksi keluarnya urine. Biasa didefinisikan sebagai inkontinensi persists karena secara fisik dan mental mengalami gangguan atau beberapa faktor lingkungan dalam persiapan untuk buang air kecil di kamar mandi.

§ Refleks inkontinensi
Adalah involunter keluarnya urine yang diprediksi intervalnya ketika ada reaksi volume kandung kemih penuh. Klien tidak dapat merasakan pengosongan kandung kemihnya penuh.

§ Enuresis
Þ Sering terjadi pada anak-anak
Þ Umumnya terjadi pada malam hari — nocturnal enuresis
Þ Dapat terjadi satu kali atau lebih dalam semalam.

o Penyebab Enuresis
Þ Kapasitas kandung kemih lebih besar dari normalnya
Þ Anak-anak yang tidurnya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi dari keinginan berkemih tidak diketahui, yang mengakibatkan terlambatnya bagun tidur untuk kekamar mandi.
Þ Kandung kemih irritable dan seterusnya tidak dapat menampung urine dalam jumlah besar.
Þ Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah (misalnya persaingan dengan saudara kandung, ceksok dengan orang tua). Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan mengatasi kebiasaannya tanpa dibantu untuk mendidiknya.
Þ Infeksi saluran kemih atau perubahan fisik atau neurologi sistem perkemihan.
Þ Makanan yang banyak mengandung garam dan mineral atau makanan pemedas
Þ Anak yang takut jalan pada gang gelap untuk kekamar mandi.

§ Perubahan pola berkemih

Þ Frekuensi
o Normal, meningkatnya frekuensi berkemih, karena meningkatnya cairan
o Frekuensi tinggi tanpa suatu tekanan intake cairan dapat diakibatkan karena cystitis
o Frekuensi tinggi pada orang stress dan orang hamil
o Canture / nokturia — meningkatnya frekuensi berkemih pada malam hari, tetapi ini tidak akibat meningkatnya intake cairan.

Þ Urgency
o Adalah perasaan seseorang untuk berkemih
o Sering seseorang tergesa-gesa ke toilet takut mengalami inkontinensi jika tidak berkemih
o Pada umumnya anak kecil masih buruk kemampuan mengontrol sfingter eksternal.

Þ Dysuria
o Adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih
o Dapat terjadi karena : striktura urethra, infeksi perkemihan, trauma pada kandung kemih dan urethra.

Þ Polyuria
o Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan
o Dapat terjadi karena : DM, defisiensi ADH, penyakit ginjal kronik
o Tanda-tanda lain adalah : polydipsi, dehidrasi dan hilangnya berat badan.

Þ Urinari suppresi
o Adalah berhenti mendadak produksi urine
o Secara normnal urine diproduksi oleh ginjal secara terus menerus pada kecepatan 60 – 120 ml/jam (720 – 1440 ml/hari) dewasa
o Keadaan dimana ginjal tidak memproduksi urine kurang dari 100 ml/hari disanuria
o Produksi urine abnormal dalam jumlah sedikit oleh ginjal disebut oliguria misalnya 100 – 500 ml/hari
o Penyebab anuria dan oliguria : penyakit ginjal, kegagalan jantung, luka bakar dan shock.

Diagnosa Keperawatan
Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine, inkontinensi dan enuresis
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya inkontinensi urine
Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria
Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine, pemasangan kateter
Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi
Isolasi sosial berhubungan dengan inkontensi
Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi
Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi saluran urinary akibat proses penyakit
Gangguan body image berhubungan dengan pemasangan urinary diversi ostomy
Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterampilan pemasangan diversi urinary ostomy

Perencanaan & Intervensi
Tujuan :
Memberikan intake cairan secara tepat
Memastikan keseimbangan intake dan output cairan
Mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Mencegah kerusakan kulit
Mencegah infeksi saluran kemih
Memulihkan self esteem atau mencegah tekanan emosional
Untuk anak kecil meningkatkan kontrol berkemih dan self esteem.
Tindakan secara umum

Intake cairan secara tepat, pasien dengan masalah perkemihan yang sering intake jumlah cairan setiap hari ditentukan dokter. Pasien dengan infeksi perkemihan, cairannya sering ditingkatkan. Pasien dengan edema cairannya dibatasi.
Mengukur intake dan output cairan. Jumlah caiaran yang masuk dan keluar dalam setiap hari harus diukur, untuk mengetahui kesimbangan cairan.
Membantu mempertahankan secara normal berkemih.
Membantu pasien mempertahankan posisi normal untuk berkemih
Memberikan kebebasan untuk pasien
Memberikan bantuan pada saat pasien pertama kali merasa ingin buang air kecil
Jika menggunakan bedpan atau urinal yakin itu dalam keadaan hangat.
Bila pasien menggunakan bedpan, tinggikan bagian kepala tempat tidur dengan posisi fowler dan letakkan bantal kecil dibawah leher untuk meningkatkan support dan kenyamanan fisik (prosedur membantu memberi pispot/urinal)
Tuangkan air hangat dalam perineum
Mengalirkan air keran dalam jarak yang kedengaran pasien
Memberikan obat-obatan yang diperlukan untuk mengurangi nyeri dan membantu relaks otot
Letakkan secara hati-hati tekan kebawah diatas kandung kemih pada waktu berkemih
Menenangkan pasien dan menghilangkan sesuatu yang dapat menimbulkan kecemasan.

Tindakan hygienis

Untuk mempertahankan kebersihan di daerah genital
Tujuannya untuk memberikan rasa nyaman dan mencegah infeksi

Tindakan spesifik masalah-masalah perkemihan

Retensi urin

Membantu dalam mempertahankan pola berkemih secara normal
Jika tejadi pada post operasi —- berikan analgetik
Kateterisasi urin

Inkontinensi

Menetapkan rencana berkemih secara teratur dan menolong pasien mempertahankan itu
Mengatur intake cairan, khususnya sebelum pasien istirahat, mengurangi kebutuhan berkemih
Meningkatkan aktifitas fisik untuk meningkatkan tonus otot dan sirkulasi darah, selanjutnya menolong pasien mengontrol berkemih
Merasa yakin bahwa toilet dan bedpan dalam jangkauannya
Tindakan melindungi dengan menggunakan alas untuk mempertahankan laken agar tetap kering
Untuk pasien yang mengalami kelemahan kandung kemih pengeluaran manual dengan tekanan kandung kemih diperlukan untuk mengeluarkan urine
Untuk pasien pria yang dapat berjalan/berbaring ditempat tidur, inkontinensi tidak dikontrol dapat menggunakan kondom atau kateter penis.

Enuresis

Untuk enuresis yang kompleks, maka perlu dikaji komprehensif riwayat fisik dan psikologi, selain itu juga urinalisis (fisik, kimia atau pemeriksaan mikroskopis) untuk mengetahui penyebabnya.
Mencegah agar tidak terjadi konflik kedua orang tua dan anak-anaknya
Membatasi cairan sebelum tidur dan mengosongkan kandung kemih sebelum tidur / secara teratur.